Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
Pengalaman saya memang belum banyak dalam menangani pasien, belum puluhan tahun seperti para dokter yang lebih dulu dari saya. Tapi saya yakin bukan hanya saya yang merasa bahwa dokter adalah profesi yang dilarang untuk marah. Dokter identik dengan manusia berbaju putih yang tidak boleh kasar apalagi membentak pasien walau untuk kebaikan pasien sekalipun.
Termasuk dalam hal memberikan edukasi terhadap pasien, dokter butuh keuletan dan kesabaran. Bukan hal yang mudah mengingat ada banyak aneka watak pasien. Misalnya saja ketika saya berhadapan dengan balita yang menderita diare. Secara penilaian klinis si balita masih mampu mendapatkan asupan cairan melalui minuman juga ASI. Masih belum perlu benar dirawat. Ibunya sudahsaya edukasi bagaimana cara memberikan cairan oralit dan mengompres jika terjadi panas.
Eh tidak disangka keesokan harinya si ibu kembali datang membawa si balita. Usut punya usut ternyata si balita hanya diberikan dua sendok cairan saja dan si ibu memilih merasa kasian kepada si anak daripada memaksanya minum. Walhasil jumlah cairan yang masuk berkurang. Menghadapi pasien seperti itu jujur membuat emosi saya naik tetapi saya bukan tipe yang meladeni kemarahan dengan marah juga. Ciri saya, semakin marah maka saya akan semakin diam dan beristigfar dalam hati supaya amarah saya reda.
Memberikan edukasi ke pasien itu membutuhkan waktu tidak sedikit dan ketika pasien kembali sakit karena tidak menjalankan hal yang sudah diedukasikan tentu membuat saya selaku dokter kesal. Si balita pun saya rujuk untuk mendapatkan cairan dari infus karena melihat orang tuanya yang sudah tidak dapat diajak kerja sama.
Selain masalah mengedukasi pasien, ada pula masalah lain yaitu mengkomunikasikan maksud pengobatan. Pasien ingin sembuh dalam waktu cepat, itu hal wajar. Namun tidak wajar ketika akhirnya pasien merasa pengobatan yang diberikan oleh dokter bertele-tele supaya makin lama rawat inap. Siapa bilang dokter suka lama-lama merawat inap pasiennya apalagi pasien dengan keluarga yang kurang kooperatif.
Kejadian ini terjadi saat seorang anak SMP dirawat karena Demam Berdarah dan Tifus dalam satu waktu. Si bapak marah-marah ketika sudah tiga hari dirawat tapi kadar trombosit anaknya selalu turun. Saat itu saya sedang operan jaga sehingga pasien tersebut memang baru saya tangani di hari ketiga perawatannya. Usut punya usut dokter sebelumnya juga sudah dikomplain masalah trombosit yang terus menurun tersebut.
“Dulu saya juga pernah dirawat karena DBD dok tapi dalam tiga hari trombosit saya naik terus. Kalau memang di sini tidak mampu ya tidak ada masalah anak saya dirujuk saja” lagi-lagi opsi tidak percaya terhadap pengobatan yang diberikan oleh dokter membuat jarak dokter-pasien-keluarga pasien semakin jauh.
Hasilnya adalah saya membutuhkan setengah jam visitase untuk menjelaskan perjalanan penyakit demam berdarah dimana ada titik kritis penurunan trombosit. Setelah melewati titik kritis yang biasanya selalu dipantau hingga hari ke-6 demam tersebut, pasien akan mengalami peningkatan jumlah trombosit dengan sendirinya. Pengobatan serta pengawasan yang dilakukan semata-mata supaya kalaupun terjadi penurunan trombosit dan perdarahan tidak jatuh terlalu parah.
Bahkan saya juga menjelaskan kalau si Aedes aegepty tersebut jarak terbang memakan darah manusia tidak jauh, hanya 50-100 meter saja, dapat lebih jika terbawa angin. Termasuk ketika daur hidup si nyamuk lebih senang keluar saat pagi jam 9an dan sore jam 4an. Jam anak-anak sekolah dan bermain memang sehingga lebih rentan.
Saya pun terpaksa menyambungkan penyakit demam berdarah si bapak dengan perjalanan DBD dimana boleh jadi si bapak diketahui penurunan trombositnya ketika titik kritis. Hal tersebut tentu menyebabkan perawatan setelahnya akan terus memberikan kenaikan nilai trombosit, yah karena memang masa kritisnya sudah terlewati.
Hasil penjelasan super panjang lebar dengan bahasa ringan tersebut adalah munculnya rasa percaya dari keluarga bahwa perawatan sudah berada di jalur yang benar. Dan memang selama dua hari ke depan, hasil trombosit si anak masih terus turun, perdarahan saat buang air besar dan mimisan mulai terjadi. Saat keluarga kembali panik, saya coba meyakinkan mereka bahwa memang ini masih proses. Semuanya masih aman terkendali karena obat-obatan penunjang selalu diberikan yang terbaik.
Hingga akhirnya, apa yang saya jelaskan di awal terhadap si bapak menjadi kenyataan. Tepat ketika melewati hari demam ke-7, trombosit si anak mulai naik dari titik kritis terendah 90 ribu (normalnya di atas 150 ribu). Hari selanjutnya trombosit terus meningkat pesat, lagi-lagi memang karena sudah waktunya.
Lain lagi cerita ketika datang anak SD dengan tangan kiri bagian atas patah. Penyebabnya ternyata karena tertimpa besi penyangga di dalam mobil. Dari luar saja sudah terlihat tulangnya patah bahkan membentuk huruf V terbalik. Keluarganya yang berpendidikan histeris ketika membawa si anak. Tidak ada perdarahan dan si anak masih sadar bahkan mungkin karena efek Sinetron Baim jadi malah terlihat berlebihan.
“Tolong ya Allah. Saya tidak mau kehilangan tangan saya. Saya tidak mau diamputasi. Saya masih mau sekolah” terus saja hal tersebut diulang-ulang si anak. Bahkan anak SD kisaran kelas tiga saja sudah pintar bahasa amputasi.
Dalam keadaan panik dimana IGD secara bersamaan kebanjiran pasien-pasien tua dengan kelainan jantung paru, tentu saja penanganan awal terhadap si anak perlu dilakukan. Pemasangan bidai untuk mereposisi patahan dilakukan dalam waktu secepat-cepatnya bersamaan dengan mengedukasi keluarga bahwa si anak perlu tindakan operasi sehingga harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap.
Setelah bidai terpasang dengan erangan tangis si anak, terlihat bahwa tulangnya tidak bengkok lagi. Menjadi lurus tapi pasti dengan garis patahan. Benar memang, hasil rontgen menunjukkan patahan cukup serius. Dalam kondisi hilir mudik keluarga, tiba-tiba terdengar suara yang membuat saya terpaksa mengeluarkan oktaf lebih tinggi, yang selama ini tidak pernah saya lakukan kecuali sudah sangat keterlaluan.
“Dibawa ke dukun saja dok!” Entah anggota keluarga yang mana yang bicara.
“Bapak, ini sudah jelas patah tulang dan harus dioperasi. Bukan ke DUKUN!” dan mendadak si bapak diam. Setelah melihat hasil bidai yang bagus dimana tangan kembali lurus, eh malah bawa-bawa si dukun. Saya cukup kesal karena kasihan terhadap si anak. Dia sangat pintar dan kuat menahan sakit bahkan calon pemimpin masa depan yang terlihat bakatnya sejak kecil, walaupun saya hanya bertemu sekali.
Obrolan singkat saya dengan si anak untuk mengurangi ketegangannya masih terus terngiang.
“Besok kalau sudah besar mau jadi dokter gak? Nanti bisa nolong orang kayak ibu sekarang”
“Jadi apa saja yang penting pekerjaannya halal, tidak korupsi”
Jawaban sangat berat untuk ukuran anak seusia dia tapi memang anak-anak lebih jujur. Berbagai kisah korupsi akan sampai juga lewat tayangan telivisi, berita koran dan cerita orang tuanya.
Ketika hasil rontgen muncul, kembali saya jelaskan kepada orang tua tindakan yang nantinya akan dilakukan oleh dokter bedah termasuk gambaran lamanya penyembuhan. Beruntung orang tuanya memahami sehingga anaknya langsung dirujuk ke rumah sakit dan bukan ke dukun. Mungkin karena suara si bapak menjadi minoritas dalam opsi keluarga besar pasien. Mudah-mudahan bukan karena oktaf saya saja.
Setelah berjibaku dengan si anak di siang hari, pasien tua tidak berhenti mengalir paska hari lebaran kemarin. Bahkan hingga tengah malam, datang rombongan keluarga besar membawa lagi-lagi pasien tua. Si kakek sesak napas dan langsung saya tangani dengan memberikan pelega napas melalui selang oksigen dan penguapan. Setelahnya si kakek dicek rekaman jantungnya yang ternyata tidak terlalu bagus. Terdapat penyumbatan di bagian tertentu jantungnya. Perlu dirujuk segera ke RS dengan fasilitas ICU karena dikhawatirkan jatuh ke jurang yang lebih parah.
Tidak semudah yang dikira memang karena si anak yang bekerja sebagai pejabat di bidang kesehatan ini datang dengan panik dan marah-marah. Pertolongan terbaik sudah diberikan tapi tetap saja marah-marah. Entahlah, memang si kakek ini tidak mendapatkan penanganan serius dari pelayanan kesehatan sebelum dirujuk ke tempat saya. Kemarahannya masih terbawa hingga bertemu saya. Bahkan ketika sudah ditawarkan merujuk dengan ambulance yang memang ada biaya tersendiri, si anak masih tidak terima kalau ambulance harus bayar.
Malah masih membahas anggaran di atas sana yang dia gunakan untuk membeli ambulance tapi mana ambulancenya. Saya hanya diam dan mendengarkan saja karena malas berurusan dengan pejabat pongah yang seolah sudah melakukan perubahan banyak padahal lebih banyak fiktifnya. Ambulance yang kita punya bukan hasil subsidi dari pemerintah dan sekali pun menggunakan misalnya ambulance dari puskesmas toh tetap saja harus bayar biaya sopir dan bensin.
Akhirnya si kakek dirujuk dengan mobil pribadi berplat merah dan ketika saya sarankan untuk membawa tabung oksigen supaya membantu pernapasan ayahnya, si anak menolak halus. Mungkin masih hitung-hitungan uang, aneh sekaligus ironis.
Tapi lagi-lagi dari kasus di atas, dokter dilarang marah walau harga dirinya sebagai sesama manusia dilecehkan. Walau harus bangun tengah malam karena diketok pintu lantaran si pasien hanya butuh vitamin saja. Toh marah tidak menyelesaikan masalah tapi jika sudah sangat keterlaluan bandelnya pasien dan menyebalkan dengan alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan, saya rasa dokter berhak untuk marah.
Marah demi mendidik pasien agar lebih menghargai nyawa dan pertolongan yang diberikan. Jadi jangan berprasangka buruk dulu jika melihat dokter marah, pasti kebanyakan pasien atau keluarga pasien sudah keterlaluan.
Salam tanpa marah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar